[Verse 1
Di antara celah pegunungan purba,
Langit menangis, awan kelabu mendera.
Dedaunan berbisik dalam lirih rintihan,
\"Berapa lama lagi kami harus bertahan?\"
Ranting rapuh, tanah mulai retak,
Air sungai membawa cerita pekat.
Kebebasan kini hanya ilusi,
Ditikam keserakahan tanpa henti.
[Chorus
Oh, bumi yang abadi, menangislah kini!
Hujan darah jatuh dari luka yang suci.
Kau berikan hidup, kau telan derita,
Tapi kapan kau lelah bertahan di batas neraka?
[Verse 2
Gunung api menjerit dengan lidah api,
Lautan pasang murka membawa janji.
Hutan-hutan melayang menjadi abu,
Seakan berbisik, \"Kami tak lagi mampu.\"
Bumi adalah ibu dengan hati terkoyak,
Namun tetap mengayomi dengan cinta yang retak.
Setiap tebasan kapak di dada pertiwi,
Adalah nyanyian akhir yang perlahan mati.
[Chorus
Oh, bumi yang abadi, menangislah kini!
Hujan darah jatuh dari luka yang suci.
Kau berikan hidup, kau telan derita,
Tapi kapan kau lelah bertahan di batas neraka?
[Instrumental Lead Clarinet
[Bridge
Api membakar angkasa yang pucat,
Angin berhenti, tak ada lagi hikmat.
Kami yang merenggut, kami yang menghancur,
Kami adalah akhir, kami penghulu kubur.
[Chorus – Reprise
Oh, bumi yang abadi, menangislah kini!
Hujan darah jatuh dari luka yang suci.
Kau berikan hidup, kau telan derita,
Kini kiamat terukir dari dosa manusia.